Menanti Senja di Bukit Paralayang |
Berawal dari sebuah keisengan siang itu saya mencoba mem’whatsapp mas Widodo. Partner di kampung Kiringan yang sering Gowes bareng. Kebetulan di kampung kami baru kami berdua saja senang ‘mancal pedal sepeda.
Saya bertanya pada mas Widodo? Kalau nanti sore sudah ada acara? Libur kah?
Pada waktu itu jawaban mas Widodo, Ya coba nanti sore kalau tidak ada acara dadakan yak? Lumayan jawabannya memberikan sebuah harapan. Ya harapan untuk saya ajak Gowes ke tempat yang saya idam-idamkan ketika belum punya sepeda waktu itu. Sekarang sudah punya sepeda, tentunya tinggal melaksanakan janji dalam hati. Yap, tepat tujuannya adalah Bukit Paralayang. Bukit Paralayang Giricahyo masih merupakan daerah kawasan wisata Kabupaten Gunungkidul, hanya saja letak lokasi tempat berada di perbatasan antara Kabupaten Bantul dengan Kabupaten Gunungkidul. Dinamai Bukit Paralayang karena tempat ini sering dipakai untuk olahraga Terjun Tandem Paralayang, makanya masyarakat lebih suka menyebut tempat ini dengan nama Bukit Paralayang. Itulah tempat sore itu yang ingin saya kunjungi bareng mas Widodo.
Bakda sholat ashar, lebih kurang jam 15.30 wib mas Widodo sudah standby depan rumahku. Dengan sepeda Polygon warna merah dengan kombinasi warna putih. Dengan tambahan aksesories tempat kamera dibawah ‘sadle, dan ditambah ‘slebor warna item dibawah ‘frame. Wah…makin cakep saja ini sepeda, gumamku dalam hati.
Sepeda saya sudah disiapkan sejak pagi tadi, iseng saya tanya pada mas Widodo?
Pie, mas trek e lumayan, adoh?
Jawabnya, lumayan broe nanjakke! Wah, seketika pikiranku dah membanyangkan jika trek yang akan dilalui adalah medan yang berat dengan jalanan rusak belum beraspal. Haha, imajinasiku mulai berputar-putar tak jelas.
Sepakat saya dan mas Widodo berangkat menuju Bukit Paralayang tempat ‘so sweet kala senja datang. Melewati pasar Pundong, lurus saja ada perempatan pertama belok kiri. Lurus saja sampai melewatii jembatan Soko (jembatan warna hijau kombinasi dengan kuning). Jembatan lurus saja sampai di pertigaan selatan jembatan Kretek Parangtritis. Lurus ikuti jalan menuju ke arah pantai Parangtritis, lurus ikuti jalan saja. Jalanan sudah beraspal super halus.
Sampailah pada tanjakan pertama setelah menuju Pantai Parangtritis habis. Rupanya saya menemukan tantangan untuk kali pertama. Waktu itu saya kira hanya dengan memakai gigi besar untuk gear depan tanjakan bisa teratasi, terus dengan gigi gear belakang paling atas tanjakan bisa dilewati. Ternyata saya keliru dalam mempredisikan pengoperan gigi sepeda. Saya tak kuat dalam menaklukan tanjakan pertama. Wah…parah!
Mas Widodo sudah memiliki pengalaman dalam menaiki trek menajak langsung ngacir saja seperti keadaan melewati trek normal saja, sementara saya dibelakang sempat berhenti sebentar untuk memindah gigi gear depan secara manual, karena telat oper gigi jadi ngancing.
Wah…kurang pengalaman ini? Jam terbang masih sangat kurang sekali!
Berhenti sebentar sambil minum air mineral yang dibawa dan membenahi gear bagian belakang yan sempat ngancing. Sekarang setelan sudah berada di gear nomer 1 gear kecil sendiri, lalu gear bagian belakang saya kombinasikan pada gear yang paling besar sendiri. Keadaan ini spesialis kalau naik tanjakan ke atas. Perlahan saya mulai menanjak dengan tetap menggenjot pedal agar sampai ke ujung tanjakan. Sebelum sampai di jalan pertigaan, ada tempat untuk beristirahat belokan ke arah situs Candi Gembirowati dan Bukit Paralayang saya dipaksa berhenti. Masih tidak kuat juga rupanya. Nafas saya sudah mau habis, ‘ngos-ngossan.
Wah…embek…saya tidak kuat! Saya nyerah neh!
Terpaksa sepeda saya tuntun saja, digandeng mesra sambil kembali mengatur napas lagi.
Edan luar biasa tenan tanjakannya. Dari jauh saya melihat mas Widodo sudah duduk sambil minum air yang di bawa melihat saya sudah hampir mati kehabisan napas. Hihi…wah resiko kalo Gowes sama pemula ya seperti ini. Sori yo mas Wid, saya buat menunggu, gumamku dengan rasa pede alias pasang muka tidak bersalah.
Papan Nama Puncak Paralayang dan Watu Gupit |
Sambil isitrahat dan mengobrol, tentang tips kalau menanjak tanjakan seperti yang barusan dilalui. Saya bertanya lagi, masih nanjak lagi mas Wid? Saya bertanya? Iya masih ada tanjakan lagi.
Wah…wah…mulai sedikit ada rasa was- was, ini nanti bisa sampai ditujuan gak ya?
Langsung perlahan-lahan saya mencoba menggenjot sepeda lagi, targetnya adalah sampai di puncak Bukit Paralayang, pelan-pelan tak apa asal sampai itulah tujuannya.
Sampailah di tanjakan kali kedua, tanjakan sebelum ke arah Candi Gembirowati. Wah..tanjakannya tinggi sekali, saya tak mengira kalau bakal terlihat tinggi seperti ini. Singkatnya saya sudah pernah lewat jalan ini ketika ke Candi Gembirowati dan melewati tanjakan ini, namun memakai sepeda motor. Sekarang dengan menggunakan sepeda tak mengira akan setinggi ini, ternyata kalau memakai sepeda itu lebih bisa mengerti tingkat ketinggian. Nah di trek ini saya pun dipaksa untuk turun dari sepeda lagi. Wah…turun lagi untuk ke dua kalinya. Tadi juga sempat mau ‘jumping, sepeda mau terbalik jauh ke belakang. Karena faktor stang sepeda yang dibuat agak tinggi, dekat dengan dada. Cukup menegangkan juga sih trek ini, kuncinya kalo tak bisa dilewati jangan dipaksa untuk dilewati dengan bersepeda.
Trek menanjak dari cor beton |
Langsung sambil saya tuntun lagi kemudian mencoba menaiki sepeda lagi. Ada tanjakan lagi dan tanjakan ini cukup tinggi. Medannya adalah jalan yang sudah di cor blok, dengan kondisi masih sepi tak banyak pengunjung yang lewati jalan ini. Saya pun tak kuat lagi untuk menaiki sepeda menaklukan trek ini. Terpaksa turun dari sepeda lagi. Dipaksa turun untuk kali ke tiga. Wah…rupanya pengalaman dan strategi dalam menaklukan trek tanjakan saya belum bisa diandalkan, masih kurang jam terbangnya.
Mas Widodo sudah berada di depan saya. Sambil menunggu saya dibelakang. Lalu saya mencoba menaiki lagi sepeda dan akhirnya sampai juga di tempat mas Widodo menunggu saya. Terlihat sang mentari sedang persiapan untuk kembali ke peraduannya. Dengan cahaya kuning keemasaan mulai memancar menembus sekumpulan awan. Sesekali ada suara deru mesin kendaraan bermotor melewati jalan yang kita lewati. Mereka para pengunjung juga ingin menikmati sunset di Bukit Paralayang.
Ternyata masih ada trek satu terakhir tanjakan super naik. Mas Widodo berada di depan saya pun juga tak kuat, terpaksa dipaksa turun karena kondisi trek yang sangat menanjak. Akhirnya kami berdua di trek terakhir sebelum sampai di pintu gerbang Watu Gupit dan Paralayang turun bersama dari sepeda dan menuntutnya.
Ahaha ini judulnya mau naik sepeda atau nuntun sepeda? Wkwkw
Naik melewati anak tangga yang tersusun rapi, sepeda kita junjung dibawa ke puncak. Seumur-umur belum pernah menjunjung sepeda ke puncak bukit, hanya sekedar untuk menikmati sunset. Melewatii anak tangga satu persatu dari tangga pertama naik ke tangga berikutnya terus seperti itu. Banyak juga yang tadi memperhatikan tingkah gila kami berdua.
Naik ke puncak memanggul sepeda |
Wakakak, kepuasan broe, kepuasan! Jawab mas Widodo penuh semangat, saya pun juga mengiyakan demikian. Kepuasan itu mahal harganya!
Sampaiah di puncak Bukit Paralayang, akhirnya sambil duduk santai beristirahat sejenak menunggu mentari kembali ke peraduannya. Menunggu sunset matahari Pantai Parangtritis di puncak Bukit Paralayang, rak yo manteb tah! Ketika sampai di puncak sudah banyak orang yang duduk santai menanti momen sunset. Ada anak kecil, anak muda-mudi, bahkan ada juga bapak-bapak usia sudah lanjut, sepuh lebih kurang usia 70 an tahun juga ikut ke puncak. Wah luar biasa ini, semangat bapak ini patut dicontoh, atau beliau sengaja dikerjai anaknya. Hihihi…
Lebih kurang ratusan pasang mata menatap ke arah barat, menanti momen indah tatkala benda ciptaan sang Khalik itu pulang ke sarangnya. Waw…ketika pas momen itu dating, hanya beberapa menit dan buru-buru para pengunjung mengabadikan dengan kamera smartphone atau camera DSLR, semua ingin buru-buru mengabadikannya. Tak ingin melewatkan momen ini.
Mas Widodo in style |
Kala senja menyapaku |
Sunset di Bukit Paralayang |
Istimewa |
Kita berdua duduk santai berada di puncak bukit Paralayang, dengan ditemani 2 sepeda di depan kami, melihat sunset matahari dengan pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Melihat keindahan alam kabupaten Gunungkidul memang tak ada duanya. Melihat pengunjung pantai Parangtritis sedang bermain-main ombak di tepi pantai, jalan Parangtritis yang selalu ramai dengan kendaraan bermotor, entah itu sepeda motor atau mobil. Saya jamin, rasa capek, rasa lelah tatkala tadi menaklukan tanjakan akan terbayarkan di sini.
Adzan maghrib berkumandang, segera kami berdua siapkan tenaga untuk pulang. Yah, pengalaman pertama menaklukan bukit Paralayang yang penuh tantangan, penuh dengan peluh keringat karena beberapa kali dipaksa berhenti turun dari sepeda. Masih perlu belajar lagi Gowes dan jam terbang menaklukan trek seperti ini. Oke insyaallah besok dicoba lagi dengan situasi dan kondisi yang berbeda.